Sabtu, 22 Februari 2014 - 0 komentar

Marsha dan Ronald



      

Namaku Marsha. Aku tinggal di dalam sebuah kamar cantik lengkap dengan dinding berwarna merah muda. Di setiap sisi dinding terdapat satu jendela persegi bertirai putih dengan motif bunga-bunga. 

     Aku ingat, aku diciptakan oleh sebuah pabrik boneka di daerah perkotaan. Lalu aku dibawa ke sebuah bangunan besar lengkap dengan suhu ruangan yang dingin. Aku tidak tahu tempat apakah itu. Yang aku tahu, di tempat itu aku bertemu dengan teman-teman baru. Ada teddy, boneka kucing, boneka lumba-lumba, dan ada juga boneka berbi yang wajahnya tak jauh berbeda denganku. Kami tak saling menyapa, hanya saling menatap. Makhluk seperti kami memang ditakdirkan hidup dalam kesunyian. Seperti itu seterusnya.

 “Ma, aku mau beli boneka berbi yang itu”, kulihat ada tangan mungil menunjukku

     Sedetik, dua detik, dan ternyata benar. Gadis kecil yang berada di depanku waktu itu dengan cepat membawaku dalam genggamannya. Ia memelukku dan memanggilku dengan sebutan Marsha. Aku mulai menyukainya ketika ia mengelus rambutku. Kupikir, aku akan berpisah dengan teman-teman baruku disini.

“baiklah, mulai dari sekarang kamu tinggal di kamarku, namamu adalah Marsha”,

“nama yang bagus”, pikirku

     Aku menyukai tempat ini, lebih nyaman dari yang kubayangkan sebelumnya. Gadis kecil itu juga memperlakukanku dengan lembut. Setiap waktu rambutku dibelainya dan disisir, memakaikanku gaun-gaun pesta yang indah, dan memelukku setiap malam. Aku merasakan bahagia.
     Hingga tiba pada suatu hari, aku tak bertemu dengan gadis kecil itu seharian.  Aku tak tahu bagaimana aku bisa tahu bahwa sudah sehari, aku hanya melihat warna langit dari kaca jendela berubah dari yang berwarna gelap, menjadi terang, lalu gelap kembali. Begitu seterusnya dalam waktu lama. Kupikir aku tak akan bertemu gadis kecil itu lagi.

     Kini aku benar-benar merasakan kesendirian. Seketika aku merindukan teddy, boneka kucing, dan boneka lumba-lumba yang sempat menjadi temanku di bangunan besar itu. Aku menangis. Walaupun tidak ada air mata yang mengalir, walaupun wajahku tetap tersenyum seperti biasanya, walaupun aku tidak bisa berteriak. Namun aku merasakan betapa aku membutuhkan teman.

***
Terdengar langkah kaki. Seketika pintu terbuka. Sudah terlalu lama pintu itu tidak dibuka.

“hai Marsha, lama tidak bertemu. Kau merindukanku?”,

Tentu saja

“aku membawakanmu teman baru, mama membelikannya karena aku berhasil dalam ujian semester. Dan kau tahu? Aku berhasil mendapatkan peringkat satu”,

     Gadis kecil itu tersenyum sesaat, lalu memperlihatkan boneka padaku. Kulihat bentuk dan ukurannya boneka itu sama denganku, namun yang dibawanya adalah boneka yang menggunakan jas hitam, berdasi, dan rambut yang tertata rapi seperti pangeran kerajaan.

“aku menamainya Ronald.”

Nama yang bagus, aku suka.

Gadis itu tersenyum lagi, lalu meletakkan Ronald tepat di sampingku. Tangan kami dibiarkan saling bersentuhan. 

     “mulai hari ini, kalian adalah sepasang kekasih. Dan akan selamanya bersama”,
Gadis itu berkata sambil tersenyum dengan puas. Matanya juga berbinar-binar. Mungkin rasa senang yang ia rasakan sama seperti yang kurasakan. Aku bahagia, walaupun aku tak tahu apakah Ronald juga merasakan bahagia atau tidak.

      Kini hari-hariku kulalui bersama Ronald. Walaupun dia dan aku tidak pernah bicara, walaupun dia dan aku tak pernah bertukar pikiran. Kita tetap bisa saling memahami. Biarpun tidak ada kata cinta dan pelukan hangat di antara kita berdua, kita tetap menikmati kebersamaan ini dengan indah. Hanya dengan tahu bahwa Ronald selalu ada di sampingku saja itu sudah cukup.
Rabu, 15 Januari 2014 - 0 komentar

Menyesal



     Kepada hujan, yang masih berpesta dari balik jendelaku. Aku ingin bercerita sedikit tentang kegelapan. Ya, ini semua terasa gelap, sampai aku tak tahu harus melewati jalan yang mana lagi.  Bahkan sesekali aku ingin kembali saja ke pelukan Tuhan. Menari-nari di surga bak seorang putri dengan wajah yang cantik. Bukan dengan wajah seperti ini. Wajah monster.

     Benar kata orang-orang, penyesalan selalu datang belakangan. Namun apalagi yang harus aku lakukan? setelah seluruh cairan silikon itu meradang. Semua terasa pahit dan menyakitkan.

“dokter, saya berjanji untuk tidak melakukan suntik silikon lagi. Tapi saya mohon, dok…,”aku berkata dengan wajah memelas.
“maaf, kerusakan pada kulit wajah anda sudah sangat parah. Jika dilakukan pengangkatan cairan silikon, itu malah beresiko untuk anda”,

“tapi dok, saya mohon…”, aku tetap memohon.
“dok, saya mohon…”, ku ulang lagi. Tapi kulihat dokter tetap menggelengkan kepalanya.

     Penyesalanku semakin terasa, apalagi ketika dokter sudah angkat tangan tentang penyakitku ini. Orang-orang juga semakin menjauhiku, mereka seperti menciptakan jarak yang bagiku itu berlebihan. Mereka juga senang memasang wajah masam ketika melihat wajahku ini. Namun itu belum seberapa, bagiku rasa sakit yang sebenarnya adalah ketika melihat kedua orangtuaku tidak mengenaliku lagi. Mereka bahkan rela mengusirku dari rumah.

“kamu, bukan lagi anakku! Anakku cantik, tidak menyeramkan seperti ini! Pergi dari sini!”,
“tapi, aku ini benar-benar anakmu, aku Susan, Bu… Pak…”, kataku sambil menangis

     Mereka menatapku dengan wajah geram. Seakan benar-benar tak ingin melihat wajahku lagi. Aku semakin dan semakin menyalahkan diriku sendiri. Tidak ada yang memperdulikanku lagi, mereka terlihat acuh dan hanya bisa menolakku. Kekasihku pun lebih memilih untuk menyudahi hubungan yang sudah berumur 2 tahun ini. Ah iya, 2 tahun yang lalu saat pertama kalinya aku mengenal apa itu suntik silikon.

     Waktu itu hari kelima aku merasakan rasa sakit dan bengkak pada wajah. Kelopak mataku mengecil, bagian bongkah pipiku menyusut sampai terasa lunak, hidungku juga membengkak, begitu juga pada bagian dagu.  Rasa sakit ini benar-benar membuatku lemah dan tidak percaya diri. Melihat wajahku di cermin saja, aku enggan. Apalagi untuk memberanikan diri untuk keluar rumah.

     Namun sial, Dion, kekasihku dengan tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Aku memang tinggal sendirian, hanya di tempat kost yang tidak seberapa. Namun bagiku, tempat ini sudah memberikan suasana yang nyaman. Ibu kost disini juga baik dan tidak terlalu mengkekang. Ia membolehkan siapapun untuk bertamu. Dengan begitu, Dion bisa saja datang dengan tiba-tiba ke kamar kost ku.

“hai Dion, maaf aku hampir tidak pernah memberimu kabar”, kataku padanya sambil kubuka selendang yang menutupi wajahku.

     Sedetik. Dua detik. Dan… dia hanya menatapku dengan wajah ketakutan. Sama seperti yang lain, Dion berteriak dan lari dengan seketika. Aku terdiam melihatnya bertingkah seperti itu. Lalu, menangis.
Ya, kini tiba di hari penyesalanku. Aku pernah beberapa kali mencoba untuk melepaskan nyawaku dari raga menyeramkan ini. Namun selalu gagal. Aku sudah sangat muak dengan berbagai tanggapan orang terhadap wajahku ini. Namun sudahlah, aku pikir menyesal hanya membuatku semakin sakit. Aku kini memilih untuk tinggal saja di dalam kamar kost, sendirian. Aku juga lebih memperbanyak memohon ampun pada Tuhan.
Sabtu, 23 November 2013 - 0 komentar

Terlambat



    Darisini aku masih bisa melihat semuanya. Walaupun aku hanya melihat kabut hitam dan kebencianku yang semakin menjadi-jadi. Aku membencimu Ayah. Aku membenci segala yang ada pada dirimu. Kau kira aku rela membiarkan istrimu kesakitan dan mengeluh akan sikapmu?

“Sanca, ibu minta jangan katakan apapun pada ayahmu nanti”,
“tapi bu, ini sudah yang kesekian”,
“ibu bilang, jangan katakan apapun!”,

    Aku diam dan tak tahu harus berkata apalagi. Ibu selalu seperti ini, terlihat lemah. Padahal ia yang mengajariku agar menjadi wanita tegas dan berani. Ia yang menunjukan padaku caranya menahan tangis. Namun semua yang telah ibu katakan padaku seperti tipuan. Bagaimana bisa, seseorang yang mengajariku untuk tidak menjadi lemah malah sekarang yang terlihat kasihan. 

“BRAAAK!!”

    Suara debrakan pintu yang terdengar khas setiap malam. Ini sudah biasa terjadi, setiap jarum jam menunjukkan angka di atas pukul 12.00 malam ayah datang dengan wajah awut-awutan, dengan rambut acak-acakan, dengan aroma alkohol yang menyebalkan. Malah terkadang ia marah-marah dan mengeluhkan segala hal yang bagiku tidak penting.

“Sanca, kembali ke kamarmu sekarang!”, Ibu segera berdiri dan menarik tanganku agar aku segera pergi
“aku tidak mau, bu..”
“cepat kembali, jangan sampai ayahmu marah!”, Ibu nampak panik. Wajahnya terlihat sangat kasian
“biarkan aku keluar dan menghadapi suamimu itu bu, aku sudah tak tahan!”

    Aku berdiri dengan emosi yang meluap-luap. Aku sudah muak dengan semua ratapan ibu setiap malam.  Baru kali ini aku merasa berani sampai seberani ini. Padahal biasanya, aku hanya bisa mengutuk ayah dibalik dinding kamarku.

“Pranggg! Prang!”

Satu lagi perabotan rumah pecah di tangan ayah. Entahlah apa yang membuat ayah menjadi suka membanting apapun yang ada dirumah. Kemarin vas bunga, kemarinnya lagi lukisan di ruang tamu, dan sekarang gelas. Mungkin besok dan besoknya lagi aku yang akan dibanting ayah.

“ayah….”, Aku memanggil ayah dengan suara lirih
 Ayah masih terlihat acuh. Ia menatapku dengan tatapan hambar, tak ada cinta yang terlihat dari balik matanya.

“Anak kecil jam segini belum tidur! Ibumu tidak bisa mengurusmu ya! ha?!”
 Ayah berkata dengan suara keras sampai memekakkan telingaku. Satu lagi vas bunga dia tas meja ia banting, vas bunga yang aku hadiahkan untuk ibu.

“mana ibumu? Bodoh sekali dia!”

    Ayah berjalan menuju kamar. Aku ingat, ada ibu di dalam. Sedangkan ayah masih terus berjalan membawa amarah yang tak mungkin aku hentikan begitu saja. Badan ayah besar dan kekar, sedangkan aku hanyalah gadis bertubuh kecil. Aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang harus kulakukan?

“berhenti! Jangan pukul ibu lagi!”, aku berteriak sekuat tenagaku
Saat aku selesai berteriak, saat itu juga satu tamparan tepat mendarat di pipi ibu. Aku terdiam.
“apa yang bisa kau lakukan? Mengurus anak saja tidak bisa, dasar bodoh!”, ayah membentak ibu yang masih menggigil ketakutan.
“tadi aku sudah menyuruhnya tidur, tapi ia tetap tidak mau tidur”
“PlAKK!”
Satu tamparan lagi.
“ayah, kumohon berhenti..”, Aku hanya bisa merengek.
“Kau bodoh!” Ayah mengayunkan tangannya lagi, dan..
“PlAKK!”

    Ibu pingsan. Ada darah segar yang mengalir dari hidungnya. Tamparan ketiga yang ayah berikan tadi ini tidak main-main. Tamparan yang melesat cepat dengan tenaga penuh. Saat itu juga ribuan peluru menancap di dadaku. Sakit sekali rasanya, sampai-sampai aku hanya bisa terdiam dan menghujani pipiku dengan air mata.
    Mulai dari kejadian inilah aku membencimu, Ayah. Aku lebih memilih pergi dan tinggal bersama bulek dan paklek. Aku tahu, aku terlambat menyelamatkan ibu yang memang sudah tak berdaya lagi. Aku terlambat untuk menyentuh hatimu yang keras. Namun kini, jangan mencariku lagi, apalagi mencari ibu. Karena kuyakin ibu telah bersenang-senang di sana, di surga, bersama Tuhan.
Minggu, 03 November 2013 - 0 komentar

Basket Freestyle



     Basket adalah salah satu cabang olah raga yang sudah sangat populer di masyarakat Indonesia. Olahraga ini diciptakan oleh James Naismith pada tahun 1892 sebagai permainan di musim dingin. Kini olahraga basket semakin berkembang, salah satu contoh perkembangan dari olahraga basket adalah basket freestyle. Basket freestyle itu sendiri adalah olahraga yang sangat menarik, karna di setiap gerakannya di padu padankan secara kreatif dan biasanya di sertai dengan musik. Para freestyler biasanya menyesuaikan gerakan sesuai irama musik tersebut dan juga bisa digabungkan dengan gerakan lainnya seperti gerakan dance. 

     Freestyle basket merupakan bagian dari olahraga basket yang memiliki banyak perbedaan dari olahraga basket yang sebenarnya, karena ada beberapa bagian dari  freestyle basket yang menjadi ciri khasnya tersendiri seperti Spin ball, Slice ball, Arm roll, Handling. 

     Pada saat ini, freestyle basket sudah mulai populer di dunia. Di beberapa negara juga sudah melahirkan beberapa freestylers berbakat seperti Kamikaze, Luiz da silva, Tommy Baker, Snake dan lainnya. Komunitas Freestyle basket di Indonesia juga cukup diminati dikalangan remaja. Salah satu contohnya adalah komunitas kingdom freestyle yang ada di Yogyakarta.

      Freestyle basket ini juga yang menjadi basic dari sebuah permainan streetball , karena permainan yang di padukan dengan freestyle dan di iringi musik itulah sesungguhnya streetball. Untuk basket streetball itu sendiri merupakan sebuah hiburan, karena olahraga ini tidak hanya sekedar menampilkan permainan basket biasa , tetapi dalam olahraga ini berusaha menampilkan sebuah hiburan dengan semaksimal mungkin melalui “trick” yang ada untuk menipu lawan, ketika lawan sudah tertipu dengan trick, itulah yang menjadi sebuah hiburan yang khas di streetball.

     Saat ini Freestyle basket dan streetball di Indonesia sudah mulai diakui oleh Menpora yang organisasi nya saat ini disebut dengan AFSSI (Asosiasi Freestyle Streetball Seluruh Indonesia). Kini, freestyle basket sudah resmi berada dibawah naungan Menpora.

Kamis, 10 Oktober 2013 - 0 komentar

Still



“kau kenapa?”
 Sanca hanya diam dan mengepalkan tangannya dengan erat.

“kau selalu begitu, marah tiba-tiba tanpa sebab seperti ini, jangan salahkan aku, jika aku mulai…...”

“apa? Kau ingin mengatakan apa? Lama-lama kau akan bosan kepadaku? Itukan yang ingin kau katakan 
sekarang.”
Tangis Sanca pecah. Ia tak tau lagi apa yang harus ia lakukan. Ini seperti dua hari yang lalu, Sanca menangis dan mengerutkan keningnya. 

“siapa wanita itu?”

“ha? Wanita yang mana maksutmu?

“Wanita yang selalu menanyakan kabarmu, menanyakan keadaanmu, dan selalu menyelipkan kalimat hangat di pesan singkatnya. sekarang, kau tidak bisa menyembunyikan itu dariku.”

“hahaha!”
 Pria itu hanya tertawa. 

“aku minta, kita berakhir!” Sanca berkata sambil menahan perih. Perih yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya.

“HAHAHAHA!”
 Tawa pria itu semakin pecah. Tawa yang memilukan telinga Sanca.

“apa yang kau tertawakan, bodoh! Jangan menghinaku dengan tertawaanmu itu!”

“kau yang bodoh!”
Tangan pria itu menggenggam dagu Sanca dengan erat. Ia memasang wajah tajam tanpa keraguan. 

“hah! Sekarang kau lihat dirimu, KAU YANG BODOH!
Tangan pria itu semakin kencang menggenggam dagu Sanca. Matanya juga semakin melotot seakan mencuat keluar. Jika ada yang menanyakan apakah ada kelembutan pada waktu itu, tentu saja jawabannya adalah tidak ada. Kini, mulut Sanca terkunci rapat.

“dengarkan aku wanita bodoh, akan aku jelaskan padamu.”

“cukup. Aku tak sudi mendengarkan penjelasanmu, dan jangan sentuh aku lagi.”
Sanca melawan wajah pria yang ia cintai dengan amarah dan kebencian. Ia seakan lupa akan janji-janji yang sudah mereka buat dengan rapih.

“kau puas sekarang?”
Pria itu melepaskan genggamannya. Suaranya kini menjadi lirih. Matanya juga menjadi sayu.

“tentu saja! Memang ini kan, yang sebenarnya kita inginkan, kau pergi dengan wanita itu, dan aku juga akan mencari pria lain penggantimu.”

“jangan lakukan itu….”

“HAHAHA, apa hak mu melarangku?”

“aku adalah priamu! Akulah masa depanmu, tentu saja aku berhak melarangmu!”

“kau masih tak mengerti? Aku sudah meminta semuanya berakhir, bodoh!”
“kau hanya meminta, kau pikir aku akan setuju?”
“cukup!”
Sanca menutup telinga kanan dan kirinya dengan telapak tangannya. Ia seakan tak peduli dengan apa yang pria ini katakan.
“aku ingin kita baik-baik saja, San.”
Pria itu memasang wajah sendu. Wajah yang seakan meminta agar Sanca kembali lagi.
“kau yang membuat semuanya menjadi keruh, aku hanya tak ingin wanita lain sampai memilikimu. Seharusnya kau paham itu!”
Sanca menangis lagi. Ia sadar, ia masih belum sanggup melepaskan pria yang kini mulai memelukanya.
“kau ingin mendengar janji?”
“coba katakan.”
“aku berjanji, wanita yang akan menemaniku di tua nanti adalah, Kau, Sanca.”
Sanca tersenyum kecil. Air matanya masih mengambang. Dan, dan, dan… akhirnya ia menangis lagi. Sanca memeluk prianya dengan erat tanpa celah sedikitpun.